Selasa, 03 Desember 2013

Persediaan



A.    Pengertian Persediaan
Persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, atau untuk suku cadang dari peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang.
Sebagai salah satu asset penting dalam perusahaan – karena biasanya mempunyai nilai yang cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi – perencanaan dan pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting untuk mendapat perhatian khusus dari manajemen perusahaan.
B.     Fungsi Persediaan
Beberapa fungsi penting persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu :
1.      Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang dibutuhkan perusahaan.
2.      Menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.
3.      Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang secara musiman atau inflasi
4.      Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan tidak akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.
C.    Klasifikasi ABC dalam Persediaan
Pengendalian persediaan dapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lain dengan menggunakan analisis nilai persediaan. Dalam analisis ini, persediaan dibedakan berdasarkan nilai investasi yang terpakai dalam satu periode. Biasanya, persediaan dibedakan dalam tiga kelas, yaitu A, B, dan C berdasarkan atas nilai persediaan. Yang dimaksud dengan nilai dalam klasifikasi ABC bukan harga persediaan per unit, melainkan volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu periode (biasanya satu tahun) dikalikan dengan harga per unit.
Kriteria masing-masing kelas dalam klasifikasi ABC, sebagai berikut :
1.      Kelas A – Persediaan yang memiliki volume tahunan rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 70% dari total persediaan, meskipun jumlahnya hanya sedikit, biasa hanya 20% dari seluruh item. Persediaan yang termasuk dalam kelas ini memerlukan perhatian yang tinggi dalam pengadaannya karena dalam kelas ini memerlukan perhatian tinggi dalam pengadaannya karena berdampak biaya yang tinggi. Pengawasan harus dilakukan secara intensif.
2.      Kelas B – Persediaan dengan nilai volume tahunan rupiah yang menengah. Kelompok ini mewakili sekitar 20% dari total nilai persediaan tahunan, dan sekitar 30% dari jumlah item. Di sini diperlukan teknik pengendalian yang moderat.
3.      Kelas C – Barang yang nilai volume tahunan rupiahnya rendah, yang mewakili sekitar 10% dari total nilai persediaan, tetapi terdiri dari sekitar 50% dari jumlah item persediaan. Di sini diperlukan teknik pengendalian yang sederhana, pengendalian hanya dilakukan sesekali saja.
Nilai persentase di atas tidak mutlak, namun tergantung dari kebijakan perusahaan. Demikian pula jumlah kelas, tidakterbatas pada tiga kelas, tetapi dapat dilakukan untuk lebih dari tiga kelas atau kurang.
D.    Biaya-Biaya dalam Persediaan
Unsur-unsur biaya yang terdapat dalam persediaan dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1.Biaya Pemesanan
Biaya pemesanan (ordering cost, procurement costs) adalah biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kegiatan pemesanan bahan/barang, sejak dari penempatan pemesanan sampai tersedianya barang di gudang. Biaya pemesanan ini meliputi semua biaya administrasi dan penempatan order, biaya pemilihan vendor/pemasok, biaya pengangkutan dan bongkar muat, biaya penerimaan dan pemeriksaan barang
2.Biaya Penyimpanan
Biaya penyimpanan (carrying costs, holding costs) adalah biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan diadakannya persediaan barang. Yang termasuk biaya ini, antara lain biaya sewa gudang, biaya administrasi pergudangan, gaji pelaksana pergudangan, biaya listrik, biaya modal yang tertanam dalam persediaan, biaya asuransi ataupun biaya kerusakan, kehilangan atau penyusutan barang selama penyimpanan.
3.Biaya Kekurangan Persediaan
Biaya kekurangan persediaan (shortage costs, stockout costs) adalah biaya yang timbul sebagai akibat tidak tersedianya barang pada waktu diperlukan. Biaya kekurangan persediaan ini pada dasarnya bukan biaya nyata (riil), melainkan berupa biaya kehilangan kesempatan. Dalam perusahaan manufaktur, biaya ini merupakan biaya kesempatan yang timbul misalnya karena terhentinya proses produksi sebagai akibat tidak adanya bahan yang diproses, yang antara lain meliputi biaya kehilangan waktu produksi bagi mesin dan karyawan.
Biaya kekurangan persediaan sulit untuk diukur dan sering hanya diperkirakan besarnya secara subyektif. Namun, tidak berarti biaya kekurangan persediaan itu tidak bias dihitung. Tabel 3 berikut ini merupakan suatu contoh bagaimana menghitung biaya kekurangan persediaan. Pendekatan yang dilakukan dengan mencari rata-rata kerugian yang timbul akibat tidak tersedianya persediaan dan probabilitas terjadinya untuk setiap kasus
Nilai Persediaan
Penilaian persediaan bertujuan untuk mengetahui nilai persediaan yang dipakai/dijual atau persediaan yang tersisa dalam suatu periode.
Terdapat tiga metode yang digunakan dalam penilaian persediaan, yaitu :
1.      Metode First In First Out (FIFO)
Metode ini didasarkan atas asumsi bahwa harga barang persediaan yang sudah terjual atau dipakai dinilai menurut harga pembelian barang yang terdahulu masuk, persediaan akhir dinilai menurut harga pembelian barang yang terakhir masuk



Contoh :
Data persediaan bahan baku yang dipakai dalam suatu proses peoduksi selama satu bulan terlihat dalam tabel di bawah ini :
Tanggal
Keterangan
Jumlah (unit)
Harga satuan (rupiah)
Total (rupiah)
1 Juni
10 Juni
15 Juni
25 Juni
Persediaan awal
Pembelian
Pembelian
Pembelian
300
400
200
100
1.000
1.100
1.200
1.200
300.000
440.000
240.000
120.000
Jumlah

1.000

1.100.000
Misalnya pada tanggal 30 Juni jumlah persediaan akhir sebanyak 250 unit, maka jumlah bahan baku yang terpakai sebesar 750 unit. Harga pokok bahan baku yang terpakai dapat dihitung sbb :
300 unit @ Rp. 1.000 = Rp. 300.000
400 unit @ Rp. 1.100 = Rp. 440.000
50 unit   @ Rp. 1.200 = Rp.    60.000
750 unit                      = Rp.  800.000
Nilai persediaan akhir :
100 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
150 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 180.000
250 unit                      = Rp. 300.000
2.      Metode Last In First Out (LIFO)
Metode ini mengasumsikan bahwa nilai barang yang terjual/terpakai dihitung berdasarkan harga pembelian barang yang terakhir masuk, dan nilai persediaan akhir dihitung berdasarkan harga pembelian yang terdahulu masuk. Dengan menggunakan contoh yang sama, harga pokok barang bahan baku yang dipakai :
100 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
200 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 240.000
400 unit @ Rp. 1.100 = Rp.  440.000
50 unit   @ Rp. 1.000 = Rp.    50.000
750 unit                      = Rp.  850.000
Nilai persediaan akhirnya :
250 @ Rp. 1.000 = Rp. 250.000
3.      Metode Rata-Rata Tertimbang (WA)
Nilai persediaan pada metode ini didasarkan atas harga rata-rata barang yang dibeli dalam suatu periode tertentu.
Nilai rata-rata persediaan :
= Rp. 1.100.000  = Rp. 1.100 per unit
     1.000 unit
Nilai persediaan yang terpakai :
= 750 x Rp. 1.100 = Rp. 825.000
Nilai persediaan akhir :
= 250 x Rp. 1.100 = Rp. 275.000
Perbandingan atas hasil penilaian :

Metode FIFO
Metode LIFO
Metode Rata-Rata
Penjualan (Rp)
Harga pokok (Rp)
Laba (Rp)
Persediaan akhir (Rp)
1.500.000
   800.000
   700.000
   300.000
1.500.000
   850.000
   650.000
   250.000
1.500.000
  825.000
  675.000
  275.000



sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar