A.
Pengertian Persediaan
Persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan
digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk digunakan dalam proses
produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, atau untuk suku cadang dari
peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu,
barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang.
Sebagai salah
satu asset penting dalam perusahaan – karena biasanya mempunyai nilai yang
cukup besar serta mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasi –
perencanaan dan pengendalian persediaan merupakan salah satu kegiatan penting
untuk mendapat perhatian khusus dari manajemen perusahaan.
B.
Fungsi Persediaan
Beberapa fungsi
penting persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, yaitu :
1.
Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang
dibutuhkan perusahaan.
2.
Menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus
dikembalikan.
3.
Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang secara musiman atau inflasi
4.
Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan
tidak akan kesulitan jika bahan itu tidak tersedia di pasaran.
C.
Klasifikasi ABC dalam Persediaan
Pengendalian
persediaan dapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lain dengan menggunakan
analisis nilai persediaan. Dalam analisis ini, persediaan dibedakan berdasarkan
nilai investasi yang terpakai dalam satu periode. Biasanya, persediaan
dibedakan dalam tiga kelas, yaitu A, B, dan C berdasarkan atas nilai
persediaan. Yang dimaksud dengan nilai dalam klasifikasi ABC bukan harga
persediaan per unit, melainkan volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu
periode (biasanya satu tahun) dikalikan dengan harga per unit.
Kriteria
masing-masing kelas dalam klasifikasi ABC, sebagai berikut :
1. Kelas A –
Persediaan yang memiliki volume tahunan rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili
sekitar 70% dari total persediaan, meskipun jumlahnya hanya sedikit, biasa
hanya 20% dari seluruh item. Persediaan yang termasuk dalam kelas ini
memerlukan perhatian yang tinggi dalam pengadaannya karena dalam kelas ini
memerlukan perhatian tinggi dalam pengadaannya karena berdampak biaya yang
tinggi. Pengawasan harus dilakukan secara
intensif.
2. Kelas B –
Persediaan dengan nilai volume tahunan rupiah yang menengah. Kelompok ini
mewakili sekitar 20% dari total nilai persediaan tahunan, dan sekitar 30% dari
jumlah item. Di sini
diperlukan teknik pengendalian yang moderat.
3.
Kelas C – Barang yang nilai volume
tahunan rupiahnya rendah, yang mewakili sekitar 10% dari total nilai
persediaan, tetapi terdiri dari sekitar 50% dari jumlah item persediaan. Di sini
diperlukan teknik pengendalian yang sederhana, pengendalian hanya dilakukan sesekali
saja.
Nilai
persentase di atas tidak mutlak, namun tergantung dari kebijakan perusahaan. Demikian pula
jumlah kelas, tidakterbatas pada tiga kelas, tetapi dapat dilakukan untuk lebih
dari tiga kelas atau kurang.
D.
Biaya-Biaya dalam Persediaan
Unsur-unsur
biaya yang terdapat dalam persediaan dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1.Biaya Pemesanan
Biaya pemesanan (ordering
cost, procurement costs) adalah biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan
kegiatan pemesanan bahan/barang, sejak dari penempatan pemesanan sampai
tersedianya barang di gudang. Biaya pemesanan ini meliputi semua
biaya administrasi dan penempatan order, biaya pemilihan vendor/pemasok, biaya
pengangkutan dan bongkar muat, biaya penerimaan dan pemeriksaan barang
2.Biaya Penyimpanan
Biaya penyimpanan (carrying
costs, holding costs) adalah biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan
diadakannya persediaan barang. Yang termasuk biaya ini, antara lain biaya sewa
gudang, biaya administrasi pergudangan, gaji pelaksana pergudangan, biaya
listrik, biaya modal yang tertanam dalam persediaan, biaya asuransi ataupun
biaya kerusakan, kehilangan atau penyusutan barang selama penyimpanan.
3.Biaya Kekurangan Persediaan
Biaya kekurangan persediaan (shortage costs, stockout costs) adalah biaya yang timbul sebagai
akibat tidak tersedianya barang pada waktu diperlukan. Biaya
kekurangan persediaan ini pada dasarnya bukan biaya nyata (riil), melainkan
berupa biaya kehilangan kesempatan. Dalam perusahaan manufaktur, biaya ini
merupakan biaya kesempatan yang timbul misalnya karena terhentinya proses
produksi sebagai akibat tidak adanya bahan yang diproses, yang antara lain
meliputi biaya kehilangan waktu produksi bagi mesin dan karyawan.
Biaya
kekurangan persediaan sulit untuk diukur dan sering hanya diperkirakan besarnya
secara subyektif. Namun, tidak berarti biaya kekurangan persediaan itu tidak
bias dihitung. Tabel 3 berikut ini merupakan suatu contoh bagaimana menghitung
biaya kekurangan persediaan. Pendekatan yang dilakukan dengan mencari rata-rata
kerugian yang timbul akibat tidak tersedianya persediaan dan probabilitas
terjadinya untuk setiap kasus
Nilai
Persediaan
Penilaian persediaan bertujuan untuk
mengetahui nilai persediaan yang dipakai/dijual atau persediaan yang tersisa
dalam suatu periode.
Terdapat tiga metode yang digunakan
dalam penilaian persediaan, yaitu :
1.
Metode First In First Out (FIFO)
Metode
ini didasarkan atas asumsi bahwa harga barang persediaan yang sudah terjual
atau dipakai dinilai menurut harga pembelian barang yang terdahulu masuk,
persediaan akhir dinilai menurut harga pembelian barang yang terakhir masuk
Contoh :
Data persediaan bahan baku yang dipakai
dalam suatu proses peoduksi selama satu bulan terlihat dalam tabel di bawah ini
:
Tanggal
|
Keterangan
|
Jumlah (unit)
|
Harga satuan (rupiah)
|
Total (rupiah)
|
1 Juni
10 Juni
15 Juni
25 Juni
|
Persediaan awal
Pembelian
Pembelian
Pembelian
|
300
400
200
100
|
1.000
1.100
1.200
1.200
|
300.000
440.000
240.000
120.000
|
Jumlah
|
|
1.000
|
|
1.100.000
|
Misalnya pada tanggal 30 Juni jumlah
persediaan akhir sebanyak 250 unit, maka jumlah bahan baku yang terpakai
sebesar 750 unit. Harga pokok bahan baku yang terpakai dapat dihitung sbb :
300 unit @ Rp. 1.000 = Rp. 300.000
400
unit @ Rp. 1.100 = Rp. 440.000
50 unit @ Rp. 1.200
= Rp. 60.000
750
unit = Rp. 800.000
Nilai
persediaan akhir :
100
unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
150 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 180.000
250 unit = Rp. 300.000
2.
Metode Last In First Out (LIFO)
Metode
ini mengasumsikan bahwa nilai barang yang terjual/terpakai dihitung berdasarkan
harga pembelian barang yang terakhir masuk, dan nilai persediaan akhir dihitung
berdasarkan harga pembelian yang terdahulu masuk. Dengan
menggunakan contoh yang sama, harga pokok barang bahan baku yang dipakai :
100
unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
200
unit @ Rp. 1.200 = Rp. 240.000
400
unit @ Rp. 1.100 = Rp. 440.000
50 unit @ Rp. 1.000
= Rp. 50.000
750
unit = Rp. 850.000
Nilai
persediaan akhirnya :
250
@ Rp. 1.000 = Rp. 250.000
3.
Metode Rata-Rata Tertimbang (WA)
Nilai persediaan pada metode ini
didasarkan atas harga rata-rata barang yang dibeli dalam suatu periode
tertentu.
Nilai rata-rata persediaan :
= Rp. 1.100.000 = Rp. 1.100 per unit
1.000 unit
Nilai
persediaan yang terpakai :
=
750 x Rp. 1.100 = Rp. 825.000
Nilai
persediaan akhir :
=
250 x Rp. 1.100 = Rp. 275.000
Perbandingan atas hasil penilaian :
|
Metode FIFO
|
Metode LIFO
|
Metode Rata-Rata
|
Penjualan (Rp)
Harga pokok (Rp)
Laba (Rp)
Persediaan akhir (Rp)
|
1.500.000
800.000
700.000
300.000
|
1.500.000
850.000
650.000
250.000
|
1.500.000
825.000
675.000
275.000
|
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar